Wali Nikah Tidak Setuju, Bagaimana Ini?

Assalamu''alaikum wr. wb.
Saya sangat mengagumi sistem Islam, dalam hal ini termasuk juga mengenai hak wali ayah kandung. Tapi yang masih menjadi pertanyaan, semoga dapat dijawab adalah:
1. Salah satu syarat wali adalah adil, bagaimana kita mengukurnya?
2. Calon mertua saya membolehkan kami berpacaran selama 7 tahun, tetapi tidak membolehkan kami menikah, padahal sudah 3 kali sayamencoba melamar.Bagaimana menurut ustadz, karena yang jadi masalah bukan tidak setuju dengan saya sebagai menantu, tetapi tidak membolehkan putrinya yang "baru" berumur 20 tahun untuk menikah, karena "malu dianggap menikah muda"?
3. Adik laki-lakinya (wali kedua langsung yang masih ada) tidak setuju dengan ayahnya dan menyatakan ayahnya tidak berlaku adil, dan bersedia menjadi wali menggantikan ayahnya. Apakah dia sudah berhak?
4. Apakah perlu kami bawa ke pengadilan agama? Dalam hal ini ibu kami kurang setuju, takutnya malah keluar biaya banyak tapi hasilnya belum tentu. Tetapi masalahnya UU perkawinan baru membolehkan kita menunggu 1 tahun lagi untuk menikah tanpa izin orang tua. Apakah kita harus "berpacaran" lagi selama total 8 tahun? Opsi menahan diri sudah di luar pembicaraan.
Mohon penjelasan..

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Salah satu kesalahan utama dalam maindset berpikir kita terkait dengan perjodohan adalah tidak pernah dilibatkannya orang tua calon isteri sejak awal perkenalan.
Orang tua kandung biasanya diletakkan di urutan terakhir dalam masalah pertimbangan dalam memilih calon isteri. Setelah puluhan faktor yang dijadikan bahan pertimbangan, misalnya faktor kecantikan, wawasan, kecocokan, kesamaan sifat, dan bla-bla yang lain, baru di urutan terakhir tinggal masalah persetujuan dari orang tuanya.
Seolah-olah posisi orang tua hanya sebagai penghias saja, sama sekali tidak ada kaitanya dengan hak dan wewenang utama dalam memberikan izin menikah kepada anak gadisnya.
Sayangnya, kita sebagai umat Islam pun juga ikut-ikutan latah mengikuti jejak bangsa-bangsa kafir, yang sama sekali tidak memandang urusan menikahi wanita terletak 100% pada kemauan dan kehendak dari orang tuanya.
Sekedar sebuah perbandingan saja, anggaplah misalnya ada seorang penggemar motor antik. Suatu saat kebetulan dia melihat sebuah motor kuno dan jatuh hati ingin memiliki. Tentu saja cara yang benar adalah mencari tahu siapa yang punya.
Kalau sudah ketemu, pasti pembicaraannya adalah apakah sang pemilik bersedia untuk menjualnya. Itu nomor satu. Sebab percuma saja berusaha untuk memilikinya seandainya sanga pemilik bertekad tidak akan menjualnya dengan harga berapa pun.
Anggaplah sang pemilik akhirnya tertarik untuk melepas, maka pembicaraan berikutnya adalah: berapa?
Dan begitulah tawar menawar terjadi antara kedua belah pihak. Baik calon pembeli atau pun sang pemilik, sama-sama berdiri sama tinggi untuk membicarakan sebuah harga. Seandainya harga tidak disepakati, si pembeli tidak bisa bilang apa-apa, alias harus mundur teratur.
Kecuali si pembeli memang dasar perampok, maka yang terlintas dalam benaknya adalah bagaimana dengan segala cara bisa merampas, memalsu tanda-tangan, berkolusi dengan keluarga terdekat, menipu, menyogok dan semua cara haram lainnya. Bahkan kalau perlu membunuh si pemilik. Itu logika perampok.
Pokoknya, bagaimana caranya agar motor itu bisa didapat, apa pun caranya. Masa bodo dengan urusan halal dan haram. Kalau perlu fatwa ulama pun diplintir-plintir ke sana kemari.
Nah, demikian juga dengan sebuah pernikahan, ketika seorang pemuda tertarik pada seorang pemudi, maka prosedur paling awal yang harus dilakukanya adalah menemui ''sang pemilik'', yang dalam hal ini adalah ayah kandung.
Kedudukanya disebut-sebut sebagai wali mujbir, yaitu wali dengan hak sangat eksklusif. Dia punya wewenang untuk menetapan secara sepihak, bahkan meski tanpa persetujuan anak gadisnya. Hebat, kan?
Maka kalau calon suaminya punya mental perampok, segala cara akan dilakukan pada saat calon ayah mertuanya tidak setuju. Terkadang dukun ikut bicara, setelah upaya sogok menyogok tidak berhasil.
Kadang juga terlintas untuk memalsu wali, dengan cara orang yang sama sekali bukan wali disulap sebagai wali gadungan. Meski pun si wali gadungan itu masih terbilang keluarganya sendiri. Namanya juga wali gadungan, tetap saja di sisi Allah pernikahan itu tidak sah.
Kalau masih nekat mau dipaksakan terjadinya pernikahan juga, ya jadinya zina. Sangat disayangkan ternyata banyak umat Islam yang terbodohi melewati jalan sesat ini. Anehnya, ada saja kiyai atau pun ustadz yang menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah ini.
Mungkin ustadznya juga ustadz gadungan, alias bukan ustadz. Kalau nanti ada yang disiksa di neraka, maka si ustadz gadungan inilah yang paling banyak digebukin malaikat. Sebab karena fatwa sesat darinya, sebuah perzinaan menjadi halal hukumnya.
Jawaban Atas Pertanyaan
1. Istilah adil seringkali dilawakan dengan istilah fasik. Orang yang adil adalah orang yang tidak fasik. Dan banyak ulama mengatakan bahwa orang yang banyak melanggar dosa besar adalah orang yang fasik.
Misalnya sering meninggalkan shalat lima waktu, atau sering tidak puasa Ramadhan, atau sering minum khamar, berzina, mencuri, merampok dan lainnya.
Maka orang yang adil itu adalah sosok seorang muslim yang realtif tidak pernah melakukan dosa-dosa besar yang nyata. Kalau dosa kecil, siapa sih yang merasa dirinya steril dari dosa kecil?
2. Anda boleh tetap berpacaran, tidak mengapa kok. Asalkan dalam pacaran itu anda tidak pernah lupa mengajak serta sang calon mertua. Jadi Anda harus selalu dalam formasi bertiga.
Mau makan, maka jalan bertiga. Mau tamasya, silahkan jalan bertiga. Mau kondangan, jalanlah bertiga. Mau menjemput, jangan lupa bertiga. Mau nonton pentas seni, ya juga bertiga.
Pokoknya selama anda masih bertiga, yaitu Anda, calon isteri dan calon mertua laki-laki, posisi masih aman.
Satu lagi, jangan sekali-kali mencoba menitipkan calon mertua di pintu masuk atau kepada satpam, lalu anda berduaan saja. Itu haram dan melanggar syariah Islam.
Maka bilang pada calon mertua anda, bahwa anda bersedia tetap pacaran dulu, tapi Bapak harus selalu mengawal kami terus sampai akhirnya nanti menikah dengan resmi.
3. Pertanyaan nnomor tiga ini sebenarnya sudah terjawab di mukaddimah. Intinya, haram dan tidak sah kalau adik calon isteri Anda jadi wali, selama dia tidak mendapat wewenang dari ayahnya.
4. Opsinya masih banyak, dan tentunya bukan sekedar sabar. Pacaran terus sampai 20 tahun kalau perlu, tapi dengan syarat ke mana-mana selalu bertiga.
Opsi kedua, ajaklah sang Ayah pergi ngaji ke ustadz yang tahu urusan syariah. Mungkin kalau anda sendiri yang menjelaskan masalah pentingnya pernikahan dan tidak baik kalau menunda-nundanya, kurang punya wibawa.
Mungkin lewat ustadz itu, beliau sadar bahwa tidak ada gunanya menunda-nunda pernikahan anaknya. Kenapa opsi ini tidak dijalankan?
Atau... kalau ke sana mentok, ke sini mentok, lalu anda sendiri tidak mau sabar... ya cari saja calon isteri yang lain, yang ayah kandungnya bisa langsung deal.
Gitu aja kok repot (mohon maaf kepada Gusdur yang dikutip jargonnya).
Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Comments

Popular Posts